Kamis, 30 Juni 2011

Aku Bukan Teroris

Kini kutahu makna kalimat itu. Banyak orang yang telah mulai mengintai kami. Lebih khusus lagi, mengincarku. Meski sesungguhnya aku tak tahu siapa mereka dan mengapa mereka menguntit kami. Ayah telah menyelamatkanku, meski akhirnya beliau harus merelakan jiwa beliau sebagai gantinya. Jika saja aku masih ada di sana, di Pidie yang penuh gundah, niscaya aku pun akan mengalami nasib yang sama. “Kau masih ingat Fatimah?” tanya paman membuyarkan buaian lamunanku. “Tentu, Paman. Ia teman sebangku saya di SMP dulu.” “Ia telah beranak dan tak diketahui siapa bapaknya.” “Astaghfirullahaladzim...” Aku tertenung oleh kabar itu. Tak kupercaya. Sungguh tak dapat kupercaya. “Itu bukan aibnya,” lanjut paman, sebelum aku sempat berprasangka. “Maksud Paman?” “Seharusnya itu aib orang yang melakukannya. Namun apa daya bagi gadis desa semacam dirinya. Tak ada kuasa. Maka ia pun harus menanggungnya sendirian.” “Tapi Fatimah tentu tahu siapa pelakunya. Ia bisa tahu siapa bapak bayi yang dilahirkannya.” Paman menggeleng mantap. “Dengan tiga orang yang memaksanya, kaupikir siapa yang layak disebut sebagai bapak?” Tiga orang? Sungguh tak terbayangkan. Aku percaya, saat itu Fatimah pasti meronta-ronta. Namun siapa bisa melawan tenaga tiga orang? Sedangkan ia hanya seorang perempuan, dan lagi sendirian. Niscaya tak tertanggungkan beban yang berkecamuk di dirinya. “… serigala yang telah mulai siaga untuk menerkammu…” Mereka, tiga orang itu, tentu serigala yang siap pula menerkamku apabila aku masih berada di sana, mengikuti kata hatiku untuk setia menemani kedua orangtuaku. Nasibku tentu tak akan jauh berbeda dari nasib Fatimah dan nasib perempuan-perempuan yang lain. Aku jadi ingat pada jawaban guru sejarah ketika kutanyakan mengapa sering kulihat bintang film Indonesia namun berwajah layaknya orang Belanda? Saat itu guru sejarahku berkata, “Ketika zaman penjajahan dulu, tak sedikit orang Belanda yang jatuh cinta dan menikah dengan orang-orang pribumi, orang-orang bangsa kita. Pernikahan mereka beranak-pinak. Karena darah mereka tercampur antara darah bangsa kita, bangsa pribumi, dengan darah penjajah, darah Belanda, maka kulit anak-anak mereka putih dan hidung anak-anak mereka mancung. Bahkan sebagian di antara anak-anak mereka ada yang bermata cokelat, tak hitam seperti mata kebanyakan dari kita.” Kini kutahu makna jawaban guru sejarah itu. Sebagian dari bangsa penjajah itu memang menikah dengan bangsa kita, namun tentu tak sedikit di antara mereka hanya memaksakan keinginan menuntaskan gairah purba mereka dan menitipkan benihnya secara paksa di rahim perempuan-perempuan pribumi. Jumlah korban pemaksaan semacam itu pasti jauh lebih banyak dibandingkan yang benar-benar menikah dalam arti sesungguhnya. Namun setahuku, penjajahan kini sudah tak terjadi lagi. Meski jarang kulihat wajahnya lantaran tak banyak pesawat televisi yang bisa kami pandangi, setidaknya aku tahu, negeriku telah punya pemimpin sendiri. Tak beda dengan negara-negara yang lain. Lantas mengapa pengalaman layaknya masa penjajahan masih saja terjadi? Aku tak menemukan jawabnya. Sebab – sebagaimana almarhumah ibu – aku pun hanya berjalan mencari jejak takdir. Mengikuti jalan nasib yang menggiringku jauh dari Pidie, jauh dari pengalaman mengerikan dan bisa hidup tenang meski di perantauan. “Tapi, Paman, mengapa Paman bisa tahu secara detil cerita tentang ibu?” “Muslihin yang memberi paman kabar. Ia paman minta mengawasi ibumu sepeninggal ayahmu.” Muslihin? Lelaki cahaya itu? Pantas, beberapa bulan terakhir, tak pernah kulihat kehadirannya. Rupanya, ia kembali berkelana. Kali ini, menjemput pertemuan dengan ibuku; calon mertuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar